Minggu, 28 Agustus 2016
Puisi W.S Rendra : Sajak Seorang Tua Di Bawah Pohon
Sajak
Seorang Tua Di Bawah Pohon
Inilah sajakku,
seorang tua yang berdiri di bawah pohon
meranggas,
dengan kedua tangan kugendong di
belakang,
dan rokok kretek yang padam di mulutku.
Aku memandang zaman.
Aku melihat gambaran ekonomi
di etalase toko yang penuh merk asing,
dan jalan-jalan bobrok antar desa
yang tidak memungkinkan pergaulan.
Aku melihat penggarongan dan pembusukan.
Aku meludah di atas tanah.
Aku berdiri di muka kantor polisi.
Aku melihat wajah berdarah seorang
demonstran.
Aku melihat kekerasan tanpa
undang-undang.
Dan sebatang jalan panjang,
punuh debu,
penuh kucing-kucing liar,
penuh anak-anak berkudis,
penuh serdadu-serdadu yang jelek dan
menakutkan.
Aku berjalan menempuh matahari,
menyusuri jalan sejarah pembangunan,
yang kotor dan penuh penipuan.
Aku mendengar orang berkata :
Hak asasi manusia tidak sama
dimana-mana.
Di sini, demi iklim pembangunan yang
baik,
kemerdekaan berpolitik harus dibatasi.
Mengatasi kemiskinan
meminta pengorbanan sedikit hak asasi
Astaga, tahi kerbo apa ini !
Apa disangka kentut bisa mengganti rasa
keadilan ?
Di negeri ini hak asasi dikurangi,
justru untuk membela yang mapan dan
kaya.
Buruh, tani, nelayan, wartawan, dan
mahasiswa,
dibikin tak berdaya.
O, kepalsuan yang diberhalakan,
berapa jauh akan bisa kaulawan kenyataan
kehidupan.
Aku mendengar bising kendaraan.
Aku mendengar pengadilan sandiwara.
Aku mendengar warta berita.
Ada gerilya kota merajalela di Eropa.
Seorang cukong bekas kaki tangan fasis,
seorang yang gigih, melawan buruh,
telah diculik dan dibunuh,
oleh golongan orang-orang yang marah.
Aku menatap senjakala di pelabuhan.
Kakiku ngilu,
dan rokok di mulutku padam lagi.
Aku melihat darah di langit.
Ya ! Ya ! Kekerasan mulai mempesona
orang.
Yang kuasa serba menekan.
Yang marah mulai mengeluarkan senjata.
Bajingan dilawan secara bajingan.
Ya ! Inilah kini kemungkinan yang mulai
menggoda orang.
Bila pengadilan tidak menindak bajingan
resmi,
maka bajingan jalanan yang akan diadili.
Lalu apa kata nurani kemanusiaan ?
Siapakah yang menciptakan keadaan
darurat ini ?
Apakah orang harus meneladan tingkah
laku bajingan resmi ?
Bila tidak, kenapa bajingan resmi tidak
ditindak ?
Apakah kata nurani kemanusiaan ?
O, Senjakala yang menyala !
Singkat tapi menggetarkan hati !
Lalu sebentar lagi orang akan mencari
bulan dan bintang-bintang !
O, gambaran-gambaran yang fana !
Kerna langit di badan yang tidak
berhawa,
dan langit di luar dilabur bias
senjakala,
maka nurani dibius tipudaya.
Ya ! Ya ! Akulah seorang tua !
Yang capek tapi belum menyerah pada
mati.
Kini aku berdiri di perempatan jalan.
Aku merasa tubuhku sudah menjadi anjing.
Tetapi jiwaku mencoba menulis sajak.
Sebagai seorang manusia.
Karya
: W.S. Rendra
Pejambon,
23 Oktober 1977
Potret
Pembangunan dalam Puisi
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar